JAKARTA, KOMPAS.com — Anak jalanan tidak perlu dirazia karena ia bukan sumber masalah. Keberadaan anak jalanan di setiap persimpangan jalan adalah fenomena, gejala tentang gambaran nyata kondisi kemiskinan suatu kota dan gambaran kemiskinan bangsa kita. Penanganan anak jalanan harus dilakukan secara profesional. Jika tidak, berpotensi lost generation.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI Makmur Sanusi menegaskan hal itu, Kamis (21/1/2010) di Jakarta, terkait kecaman terhadap razia anak jalanan, sebagaimana diberitakan Kompas (Kamis). Penanganan anak jalanan harus mengacu ke peraturan dan undang-undang tentang perlindungan anak. "Mereka tidak perlu dirazia, apalagi sampai pemeriksaan dubur. Penanganannya harus dengan pendekatan persuasif. Anak jalanan jangan dijadikan obyek, tetapi adalah subyek," katanya.
Makmur Sanusi menjelaskan, sebenarnya Kementerian Sosial sudah punya cara dan format penanganan anak jalanan yang profesional, tetapi karena anggaran negara yang terbatas pasca-habisnya bantuan UNDP dan ADB untuk penanganan yang intensif, terjadi pembengkakan jumlah anak jalanan. Sebab, ada kekosongan dalam penanganan.
Disebutkan, penelitian yang dilakukan Atmajaya di 12 kota tahun 1996, anak jalanan ada lebih kurang 36.000. Estimasi sekarang ada sekitar 100.000. Di masa program ADB tahun 1995-1999, tiap rumah singgah dapat bantuan Rp 300 juta. Di 12 kota waktu itu terdapat 316 rumah singgah. Setiap rumah singgah ada pendamping atau pekerja sosial yang menangani persoalan anak telantar.
Yang diberikan pendampingan tidak hanya anak jalanan, tetapi juga orangtuanya. Orangtuanya diberikan pelatihan dan diberi modal usaha. Sedangkan kepada anaknya, ada tutorial yang menangani masalah pendidikan mereka, jelas Makmur Sanusi.
Tentang masih minimnya anggaran, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial itu melukiskan, setahun anggaran untuk penanganan anak jalanan itu sekitar Rp 2 miliar. Dengan demikian, masing-masing rumah singgah yang dikelola lembaga swadaya masyarakat hanya mendapat bantuan stimulan sekitar Rp 97 juta. Kalau bantuan tidak sebesar ADB yang Rp 300 juta/LSM, idealnya Rp 150 juta/LSM, dengan indeks Rp 1,25 juta per anak setahun.
Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sudah menjelaskan kondisi faktual anggaran anak jalanan yang masih minim tersebut kepada DPR RI dan dijanjikan akan ada anggaran tambahan dari APBN.
Menurut Makmur Sanusi, jika anak jalanan tidak ditangani secara profesional, dikhawatirkan akan terjadi generasi yang hilang di Indonesia.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI Makmur Sanusi menegaskan hal itu, Kamis (21/1/2010) di Jakarta, terkait kecaman terhadap razia anak jalanan, sebagaimana diberitakan Kompas (Kamis). Penanganan anak jalanan harus mengacu ke peraturan dan undang-undang tentang perlindungan anak. "Mereka tidak perlu dirazia, apalagi sampai pemeriksaan dubur. Penanganannya harus dengan pendekatan persuasif. Anak jalanan jangan dijadikan obyek, tetapi adalah subyek," katanya.
Makmur Sanusi menjelaskan, sebenarnya Kementerian Sosial sudah punya cara dan format penanganan anak jalanan yang profesional, tetapi karena anggaran negara yang terbatas pasca-habisnya bantuan UNDP dan ADB untuk penanganan yang intensif, terjadi pembengkakan jumlah anak jalanan. Sebab, ada kekosongan dalam penanganan.
Disebutkan, penelitian yang dilakukan Atmajaya di 12 kota tahun 1996, anak jalanan ada lebih kurang 36.000. Estimasi sekarang ada sekitar 100.000. Di masa program ADB tahun 1995-1999, tiap rumah singgah dapat bantuan Rp 300 juta. Di 12 kota waktu itu terdapat 316 rumah singgah. Setiap rumah singgah ada pendamping atau pekerja sosial yang menangani persoalan anak telantar.
Yang diberikan pendampingan tidak hanya anak jalanan, tetapi juga orangtuanya. Orangtuanya diberikan pelatihan dan diberi modal usaha. Sedangkan kepada anaknya, ada tutorial yang menangani masalah pendidikan mereka, jelas Makmur Sanusi.
Tentang masih minimnya anggaran, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial itu melukiskan, setahun anggaran untuk penanganan anak jalanan itu sekitar Rp 2 miliar. Dengan demikian, masing-masing rumah singgah yang dikelola lembaga swadaya masyarakat hanya mendapat bantuan stimulan sekitar Rp 97 juta. Kalau bantuan tidak sebesar ADB yang Rp 300 juta/LSM, idealnya Rp 150 juta/LSM, dengan indeks Rp 1,25 juta per anak setahun.
Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sudah menjelaskan kondisi faktual anggaran anak jalanan yang masih minim tersebut kepada DPR RI dan dijanjikan akan ada anggaran tambahan dari APBN.
Menurut Makmur Sanusi, jika anak jalanan tidak ditangani secara profesional, dikhawatirkan akan terjadi generasi yang hilang di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar