Anak Cacat Perlu Pelayanan dan Perlindungan Khusus
Mereka membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus, baik oleh keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Anak dengan kecacatan saat ini umumnya masih dianggap beban oleh keluarga Bahkan masih ada di antara mereka yang dianggap aib sehingga sering disembunyikan. Kondisi ini menimbulkan stigma negatif di masyarakat.
Kasus Tiwul Maut karena Mereka Tak Terdata sebagai Warga Miskin
Kasus tersebut mungkin akibat tidak terdatanya mereka oleh pemda sebagai keluarga miskin. Anak-anak korban itu luput dari Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar pada anak karena memang tidak terdata sebelumnya. Kasus tersebut tidak akan terjadi jika PKH berjalan.
Anak Jalanan Berpotensi Jadi Generasi yang Hilang
Penanganan anak jalanan harus mengacu ke peraturan dan undang-undang tentang perlindungan anak. Mereka tidak perlu dirazia, apalagi sampai pemeriksaan dubur. Penanganannya harus dengan pendekatan persuasif. Anak jalanan jangan dijadikan obyek, tetapi adalah subyek.
Kemiskinan Picu Beragam Permasalahan
Kemiskinan tidak hanya menimbulkan persoalan sosial lama seperti munculnya gelandangan dan pengemis serta meningkatkan angka kriminalitas.Namun secara tidak langsung juga mempengaruhi permasalahan yang dihadapi anak-anak. Desakan kebutuhan ekonomi yang begitu kuat seringkali mendorong, baik orang tua maupun anak, untuk mengambil jalan pintas.
2011, Lansia Telantar Dapat Tunjangan Seumur Hidup
Mulai tahun 2011, lansia yang terlantar di tanah air bakal menerima tunjangan sebesar Rp 300 ribu per bulan. Lansia terlantar akan menerima tunjungan ini hingga akhir hayatnya.Program yang bernama Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) ini sebagai proyek percontohan yang dilakukan di 28 provinsi dengan total lansia sebanyak 10 ribu jiwa.
Kamis, 06 Januari 2011
2011, Lansia Telantar Dapat Tunjangan Seumur Hidup
Rabu, 05 Januari 2011
Kemiskinan Picu Beragam Permasalahan
Permasalahan anak menjadi permasalahan sosial kedua terbesar setelah persoalan kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya menimbulkan persoalan sosial lama seperti munculnya gelandangan dan pengemis serta meningkatkan angka kriminalitas.
Makmur Sunusi. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, menyatakan, dua hal tersebut, di Jakarta, kemarin. Permasalahan anak dan persoalan kemiskinan, saling terkait erat. Kadang orang tuaitu sendiri yang melakukan kejahatan terhadap anaknya. Contohnya saat ini banyak orang tua yang telah memperjualbelikan anaknya sejak masih dalam kandungan.
Anak Jalanan Berpotensi Jadi Generasi yang Hilang
Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI Makmur Sanusi menegaskan hal itu, Kamis (21/1/2010) di Jakarta, terkait kecaman terhadap razia anak jalanan, sebagaimana diberitakan Kompas (Kamis). Penanganan anak jalanan harus mengacu ke peraturan dan undang-undang tentang perlindungan anak. "Mereka tidak perlu dirazia, apalagi sampai pemeriksaan dubur. Penanganannya harus dengan pendekatan persuasif. Anak jalanan jangan dijadikan obyek, tetapi adalah subyek," katanya.
Makmur Sanusi menjelaskan, sebenarnya Kementerian Sosial sudah punya cara dan format penanganan anak jalanan yang profesional, tetapi karena anggaran negara yang terbatas pasca-habisnya bantuan UNDP dan ADB untuk penanganan yang intensif, terjadi pembengkakan jumlah anak jalanan. Sebab, ada kekosongan dalam penanganan.
Disebutkan, penelitian yang dilakukan Atmajaya di 12 kota tahun 1996, anak jalanan ada lebih kurang 36.000. Estimasi sekarang ada sekitar 100.000. Di masa program ADB tahun 1995-1999, tiap rumah singgah dapat bantuan Rp 300 juta. Di 12 kota waktu itu terdapat 316 rumah singgah. Setiap rumah singgah ada pendamping atau pekerja sosial yang menangani persoalan anak telantar.
Yang diberikan pendampingan tidak hanya anak jalanan, tetapi juga orangtuanya. Orangtuanya diberikan pelatihan dan diberi modal usaha. Sedangkan kepada anaknya, ada tutorial yang menangani masalah pendidikan mereka, jelas Makmur Sanusi.
Tentang masih minimnya anggaran, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial itu melukiskan, setahun anggaran untuk penanganan anak jalanan itu sekitar Rp 2 miliar. Dengan demikian, masing-masing rumah singgah yang dikelola lembaga swadaya masyarakat hanya mendapat bantuan stimulan sekitar Rp 97 juta. Kalau bantuan tidak sebesar ADB yang Rp 300 juta/LSM, idealnya Rp 150 juta/LSM, dengan indeks Rp 1,25 juta per anak setahun.
Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sudah menjelaskan kondisi faktual anggaran anak jalanan yang masih minim tersebut kepada DPR RI dan dijanjikan akan ada anggaran tambahan dari APBN.
Menurut Makmur Sanusi, jika anak jalanan tidak ditangani secara profesional, dikhawatirkan akan terjadi generasi yang hilang di Indonesia.
Kasus 'Tiwul Maut' karena Mereka Tak Terdata sebagai Warga Miskin
Anak Cacat Perlu Pelayanan dan Perlindungan Khusus
Bantuan PKSA ini tidak berupa uang tunai, namun dalam bentuk barang-barang peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang peningkatan kualitas hidup anak-anak penyandang cacat seperti bantal dan kasur busa, kursi roda, pakaian, peralatan sekolah, natura penunjang giri dan lain-lain. Kecamatan Pangalengan dan Ciparay terpilih sebagai lokasi uji coba program PKSA karena merupakan urban area, di mana mata pencarian penduduknya lebih bervariasi.Jenis kecacatan disebabkan berbagai faktor. Di antaranya kurang gizi selama kehamilan, sudah tua masih punya anak, proses kelahiran (postnatalj, dan kasus anak cacat keturunan. Jumlah anak cacat di Kecamatan Pangalengan mencapai 102 anak dan Kecamatan Ciparay 68 anak.
Selasa, 04 Januari 2011
Penting Peran Masyarakat Atasi Masalah Narkoba
JAKARTA - SURABAYAWEBS.COM
Masalah penggunakan Narkoba dan zat berbahaya lainnya sudah sangat memprihatinkan sekarang ini, karena lebih dari 3,2 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna Napza (Narkotika Psikotropik dan Zat Adektif). Mengingat masalah Napza ini sangat serius karena dapat mengancam generasi bangsa, maka diperlukan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah ini.
Hal itu terungkap dalam acara diskusi sekaligus temu pers bersama Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Depsos Makmur Sunusi bersama pengamat sosial Baby Jim Aditya serta praktisi Albari Husen di Jakarta, Kamis (19/6) dalam rangka Hari Anti Narkoba Internasional (HANI). Dalam kesempatan itu, Makmur Sunusi yang mewakili Mensos Bachtiar Chamsyah menjelaskan bahwa persoalan pengguna Napza di tanah air sangat pelik, karena satu dengan lainnya belum sejalan dalam mengatasi masalah tersebut.
Ia mengatakan penanganannya masih parsial sehingga masing-masing instansi yang memiliki program anti Napza bergerak sendiri-sendiri karena mengangkut sebuah proyek. Untuk itu, ia mengatakan bagi Depsos tidak ada kata menyerah dalam menanggulangi masalah Napza ini dan tetap berkomitmen menyelamatkan generasi bangsa dengan berbagai program yang telah dijalankan selama ini.
Salah satu pilot project yang sedang dijalankannya adalah program penguatan institusi lokal penanggulangan korban Napza berbasis masyarakat. Menurutnya, langkah ini sangat tepat mengingat dana yang disediakan pemerintah untuk program anti Napza di Depsos memang sangat terbatas sehingga perlu menggunakan dana secara efektif dan efisien.
Dijelakannya, model pelaksanaan penguatan institusi lokal berbasis masyarakat itu sangat sederhana dijalankan dan dipastikan sangat tepat untuk kondisi sekarang ini. Disana, menurutnya peran Pemda dan Masyarakat serta stimulus dari pusat merupakan tiga komponen penting dalam memajukan institusi lokal berbasis masyarakat.
Ia mengatakan salah satu provinsi yang telah menjalakan uji coba tersebut adalah Jawa Barat dan sudah berjalan selama dua tahun yaitu 2006 dan 2007. “Program ini sangat efektif karena selain memberikan rehabilitasi korban Napza juga memajukan peran serta masyarakat dan Pemda setempat akan pentingnya mengatasi masalah ini,” katanya menjelaskan.
Program ini akan terus ditingkatkan menjadi tiga provinsi pada tahun 2008 ini yaitu di Provinsi Kalimantan Selatan dan DIY. Bahkan ia memastikan pada tahun 2015 seluruh desa dan kelurahan di seluruh Indonesia telah memiliki tim pencegahan Napza berbasis masyarakat.
Namun ia mengatakan sangat salut dengan adanya peran serta masyarakat yang sangat baik terhadap masalah Napza ini. Dimana ada sekitar 78 lembaga rehabilitasi Napza yang dikelola masyarakat luas di seluruh Indonesia bahkan sudah merehabilitasi sekitar 22.466 pengguna Napza.
Bersamaan dengan adanya peran yang cukup baik dari masyarakat, maka pemerintah juga terus meningkatkan programnya dalam mengatasi masalah Napza. Salah satunya dengan memberikan bantuan modal usaha bagi Kelompok Usaha Bersama (Kube) bagi mantan pecandu Napza sehingga hidupnya dapat normal kembali dengan berbekal modal usaha yang dikelola secara bersama-sama.***