Kamis, 06 Januari 2011

2011, Lansia Telantar Dapat Tunjangan Seumur Hidup

KESRA- 10 FEBRUARI: Ada kabar baik dari Departemen Sosial untuk para lanjut usia (lansia). Mulai tahun 2011, lansia yang terlantar di tanah air bakal menerima tunjangan sebesar Rp 300 ribu per bulan. “Lansia terlantar akan menerima tunjungan ini hingga akhir hayatnya,” ujar Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial, Makmur Sunusi, Rabu (10/2).
Program yang bernama Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) ini, sebenarnya telah masuki tahun ke-5 sebagai proyek percontohan yang dilakukan di 28 provinsi dengan total lansia sebanyak 10 ribu jiwa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2008 menyebutkan populasi lanjut usia di Indonesia sebanyak 19,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 1,6 juta jiwa atau 8,2 persen yang lanjut usia telantar dan dalam kondisi miskin.
Makmur mengatakan, pada 2011, program ini akan dijadikan program nasional serupa dengan bantuan langsung tunai (BLT). Hanya saja, kata Makmur, di program ini, para lansia tidak perlu repot untuk mendatangi Kantor Pos.
“Petugas pos akan mengantarkan langsung bantuan ke rumah lansia yang tertera stiker khusus,” ujar Makmur.
Saat ini, kata Makmur, yang perlu digalakkan adanya sharing budget antara pemerintah pusat dan daerah untuk menunjang program ini. Pada 2010, ujarnya, Depsos mulai memantau provinsi mana saja yang mulai menganggarkan pendampingan rogram JLSU dalam APBD-nya.
“Provinsi yang memasukkan JLSU dalam APBD-nya, akan diprioritaskan pada JSLU 2011.”
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial, pelaksanaan program ini masih menemui kendala dan hambatan di beberapa daerah. Di Jawa Barat, misalnya, program masih ini terkendala urusan koordinasi, monitoring, dan evaluasi.
Di Banten, kualitas fasilitator program yang belum sepenuhnya mengerti tugas pokok dan fungsinya, menjadi masalah tersendiri. Sementara, di ibu kota Jakarta, permasalahan intinya terletak pada pencairan dana JSLU. “Kedepan akan kita benahi terus,” ujar Makmur.
Di antaranya, dengan membenahi pola perekrutan lansia terlantar, sehingga lansia yang menerima tunjangan seumur hidup ini betul-betul tepat sasaran. Hal yang perlu dibenahi juga, kata Makmur, yakni proses pengiriman bantuan. “Kita harus meminimalisir adanya penyimpangan,” jelasnya.
Makmur menambahkan, apabila ada kendala di lapangan, petugas PT Pos Indonesia yang menyampaikan langsung ke rumah para penerima, agar diupayakan tidak sampai menimbulkan penyimpangan pelaksanaan program. “Harus dihindari juga para lansia yang datang ke kantor kecamatan atau kantor pos untuk antri mengambil dana JSLU.”
Makmur juga meminta kepada masyarakat untuk sepenuhnya mengawasi bersama program ini. Yang paling penting, kata Makmur, masyakarat juga tidak lagi menjadikan para lansia, terutama mereka yang terlantar sebagai beban. “Agar para lansia dapat menikmati taraf hidup wajar,” tuturnya.
Kepala Kantor Sentra Giropos dan Layanan Keuangan PT Pos Indonesia, Apip Supriatna, menjamin petugas pos di lapangan tidak akan melakukan penyimpangan. Kalaupun ada, kata Apip, PT Pos Indonesia akan memberikan sanksi tegas kepada karyawannya.
“Kami akan bertanggungjawab sepenuhnya, Jika yang melakukan kesalahan adalah petugas kami di lapangan,” ujar Apip. (orh)

Rabu, 05 Januari 2011

Kemiskinan Picu Beragam Permasalahan

Jakarta, Pelita
Permasalahan anak menjadi permasalahan sosial kedua terbesar setelah persoalan kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya menimbulkan persoalan sosial lama seperti munculnya gelandangan dan pengemis serta meningkatkan angka kriminalitas.
Namun secara tidak langsung juga mempengaruhi permasalahan yang dihadapi anak-anak. Desakan kebutuhan ekonomi yang begitu kuat seringkali mendorong, baik orang tua maupun anak, untuk mengambil jalan pintas.

Makmur Sunusi. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, menyatakan, dua hal tersebut, di Jakarta, kemarin. Permasalahan anak dan persoalan kemiskinan, saling terkait erat. Kadang orang tuaitu sendiri yang melakukan kejahatan terhadap anaknya. Contohnya saat ini banyak orang tua yang telah memperjualbelikan anaknya sejak masih dalam kandungan.
"Ini bisnis model baru. Permasalahan ini memang sulit ditangani karena tidak semua perempuan hamil kita data, kita awasi, kita monitoring sampai melahirkan. Ini menjadi PR baru yang harus sama-sama kita kerjakan untuk memberantas kejahatan anak. Kitaharapkan dengan adanya kerjasama dengan Instansi terkait sesuai dengan kesepakatan MoU enam lembaga pemerintah, hasilnya akan optimal. Minimal angkanya bisa ditekan," kata Makmur.
DI sisi lain. Makmur menambahkan, faktor kemiskinan mendorong anak melakukan berbagai tindakan kriminal. Persoalan utamanya karena anak-anak butuh makan, uang dan kehidupan. Permasalahan anak, lanjutnya, sering dikaitkan dengan pola didik orang tua. Tapi tidak semua kenakalan anak bersifat patologik sehingga memerlukan penanganan yang profesional. Hal yang paling utama menurutnya adalah anak tidak boleh dididik dengan kekerasan.
"Kenakalan terhadap anak disebabkan banyak faktor, seperti rasa tidak aman dan tidak mendapat perhatian dari keluarga, pengaruh lingkungan dan narkoba. Untuk menangani hal tersebut peran orang tua sebagai basic home untuk anak-anak tersebut perlu ditingkatkan." tukasnya.

Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABU). Makmur menekankan, ABH melibatkan anak dalam proses hukum, melalui suatu peradilan khusus, bukan penjara yang se-harusnya mereka hadapi sebagai keputusan terakhir.
"Kementerian Sosial merupakan salah satu lembaga pemerintah yang mempunyai kepentingan dan tugas untuk mengawal pelaksanaan undang undang dalnm upaya perlindungan dan penegakan hak-hak anak dengan kategori status offender dan Juvenile deli-quence." tegasnya.

Kasus anak yang berhadapan dengan hukum dari tahun ke tahun kecenderungannya terus mengalami peningkatan. Data Pusdalin Kementerian Sosial menunjukkan, tahun 2008 jumlah anak nakal sebanyak 1.998.578 orang, sedangkan data aparat hukum menyebutkan sebanyak 3.800 orang.(cr-5)

Anak Jalanan Berpotensi Jadi Generasi yang Hilang

JAKARTA, KOMPAS.com — Anak jalanan tidak perlu dirazia karena ia bukan sumber masalah. Keberadaan anak jalanan di setiap persimpangan jalan adalah fenomena, gejala tentang gambaran nyata kondisi kemiskinan suatu kota dan gambaran kemiskinan bangsa kita. Penanganan anak jalanan harus dilakukan secara profesional. Jika tidak, berpotensi lost generation.

Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI Makmur Sanusi menegaskan hal itu, Kamis (21/1/2010) di Jakarta, terkait kecaman terhadap razia anak jalanan, sebagaimana diberitakan Kompas (Kamis). Penanganan anak jalanan harus mengacu ke peraturan dan undang-undang tentang perlindungan anak. "Mereka tidak perlu dirazia, apalagi sampai pemeriksaan dubur. Penanganannya harus dengan pendekatan persuasif. Anak jalanan jangan dijadikan obyek, tetapi adalah subyek," katanya.

Makmur Sanusi menjelaskan, sebenarnya Kementerian Sosial sudah punya cara dan format penanganan anak jalanan yang profesional, tetapi karena anggaran negara yang terbatas pasca-habisnya bantuan UNDP dan ADB untuk penanganan yang intensif, terjadi pembengkakan jumlah anak jalanan. Sebab, ada kekosongan dalam penanganan.
Disebutkan, penelitian yang dilakukan Atmajaya di 12 kota tahun 1996, anak jalanan ada lebih kurang 36.000. Estimasi sekarang ada sekitar 100.000. Di masa program ADB tahun 1995-1999, tiap rumah singgah dapat bantuan Rp 300 juta. Di 12 kota waktu itu terdapat 316 rumah singgah. Setiap rumah singgah ada pendamping atau pekerja sosial yang menangani persoalan anak telantar.
Yang diberikan pendampingan tidak hanya anak jalanan, tetapi juga orangtuanya. Orangtuanya diberikan pelatihan dan diberi modal usaha. Sedangkan kepada anaknya, ada tutorial yang menangani masalah pendidikan mereka, jelas Makmur Sanusi.

Tentang masih minimnya anggaran, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial itu melukiskan, setahun anggaran untuk penanganan anak jalanan itu sekitar Rp 2 miliar. Dengan demikian, masing-masing rumah singgah yang dikelola lembaga swadaya masyarakat hanya mendapat bantuan stimulan sekitar Rp 97 juta. Kalau bantuan tidak sebesar ADB yang Rp 300 juta/LSM, idealnya Rp 150 juta/LSM, dengan indeks Rp 1,25 juta per anak setahun.

Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sudah menjelaskan kondisi faktual anggaran anak jalanan yang masih minim tersebut kepada DPR RI dan dijanjikan akan ada anggaran tambahan dari APBN.
Menurut Makmur Sanusi, jika anak jalanan tidak ditangani secara profesional, dikhawatirkan akan terjadi generasi yang hilang di Indonesia.

Kasus 'Tiwul Maut' karena Mereka Tak Terdata sebagai Warga Miskin

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Direktur Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementrian Sosial, Makmur Sunusi, mengatakan kasus meninggalnya enam anak setelah memakan tiwul buatan ibunya di Mayong, Jepara, Jawa Tengah, akibat tidak terlaporkannya data orang miskin.
''Kasus tersebut mungkin akibat tidak terdatanya mereka oleh pemda sebagai keluarga miskin,'' tutur dia kepada Republika, Rabu (5/1). ''Anak-anak korban itu luput dari Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar pada anak karena memang tidak terdata sebelumnya.’’
Ia yakin kasus tersebut tidak akan terjadi jika PKH berjalan. “Mekanisme pengawasan dan pendampingan PKH sangat baik,'' kata dia.
Enam bersaudara dari pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah meninggal awal pekan ini setelah mengomsumsi tiwul pengganti beras. Keenamnya, yang berusia antara tiga hingga 22 tahun, diduga keracunan panganan dari singkong yang semakin diakrabi orang miskin itu.
Jamhamid, buruh penjahit pada sebuah industri konveksi di Semarang, tak mampu membeli beras karena harganya semakin tinggi. Untuk mengganjal perut keluarga, istrinya kerap mengais sisa panen singkong dari ladang tetangga untuk diolah menjadi tiwul.

Anak Cacat Perlu Pelayanan dan Perlindungan Khusus

Guna melaksanakan salah satu kewajiban pemerintah, Departemen Sosial (Depsos) menyerahkan bantuan program pelayanan kesejahteraan sosial anak (PKSA) untuk 75 anak penyandang cacat di Kecamatan Pangalengan dan Ciparay, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.Bantuan PKSA senilai Rp 150 juta atau Rp 2 juta per anak diserahkan Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial (Dirjen Yanrehsos). Makmur Sunusi, didampingi Direktur Pelayanan Sosial Anak Harry Hikmat, di Kecamatan Pangalengan dan Ciparay, Kabupaten Bandung. Sabtu (23/1)

Bantuan PKSA ini tidak berupa uang tunai, namun dalam bentuk barang-barang peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang peningkatan kualitas hidup anak-anak penyandang cacat seperti bantal dan kasur busa, kursi roda, pakaian, peralatan sekolah, natura penunjang giri dan lain-lain. Kecamatan Pangalengan dan Ciparay terpilih sebagai lokasi uji coba program PKSA karena merupakan urban area, di mana mata pencarian penduduknya lebih bervariasi.Jenis kecacatan disebabkan berbagai faktor. Di antaranya kurang gizi selama kehamilan, sudah tua masih punya anak, proses kelahiran (postnatalj, dan kasus anak cacat keturunan. Jumlah anak cacat di Kecamatan Pangalengan mencapai 102 anak dan Kecamatan Ciparay 68 anak.

Menurut Makmur Sunusi. anak penyandang cacat atau anak dengan kecacatan merupakan kelompok anak yang memerlukan perhatian dan perlindungan khusus (children in need of special protection). “Mereka membutuhkan perhatian dan perlindungan khusus, baik oleh keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Anak dengan kecacatan saat ini umumnya masih dianggap beban oleh keluarga Bahkan masih ada di antara mereka yang dianggap aib sehingga sering disembunyikan. Kondisi ini menimbulkan stigma negatif di masyarakat,” ujar Makmur Sunusi.Hal itu, menurut Makmur, akibat keterbatasan pengetahuan, pemahaman, dan informasi orangtuanya, sehingga berdampak tidak terjangkau oleh petugas pekerja sosial dan penyelenggara pelayanan sosial anak penyandang cacat Padahal, sesuai UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, negara menjamin pemenuhan hak anak-anak penyandang cacat untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan.

Depsos juga memberikan apresiasi yang tinggi dengan terbentuknya Forum Komunikasi Keluarga dengan Anak Cacat (FKKDAC) di Desa Margaluyu, Pangalengan. Forum ini dirancang sebagai wadah berkomunikasi para keluarga yang memiliki anak cacat “Dari forum ini diharapkan muncul pelayanan berbasis masyarakat (community based approach) karena perkumpulan ini adalah swadaya masyarakat. Hingga 2009 telah terbentuk 61 forum komunikasi keluarga dengan anak cacat di 23 provinsi,” kata Makmur lagi. Depsos bersama dinas sosial provinsi, kabupaten/kota juga menyediakan petugas pendamping (pekerja sosial) yang memiliki keahlian khusus. Lima kota/provinsi besar ditetapkan sebagai lokasi uji coba program PKSA, yakni DKI Jakarta, Kabupaten Bandung, DI Yogyakarta, Lampung, dan Sulawesi Selatan.”Kegiatan yang dilakukan petugas pendamping dan FKKDAC dalam pengembangan model ini, antara lain, pendataan, penjajagaan, monitoring serta aktivitas lain yang mendukung dan bermanfaat bagi para orangtua anak penyandang cacat,” kata Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bandung, DJ Kertabudi

Dalam tatap muka antara Makmur Sunusi, Harry Hikmat, dan puluhan orangtua yang anaknya penyandang cacat di Balai Desa Maigaluyu, Ny lis Yulia (33), orangtua Ahmad Riswanto (3,8 tahun) yang menderita cacat mental karena pembengkakan tulang kepalanya, menyatakan bahwa dia ingin diberi bantuan uang untuk berobat.Sebab, Ny lis, istri Tatang, merasa berat Pasalnya, setiap kali membawa putranya berobat ke dokter memerlukan uang jutaan rupiah. Sedangkan Ny Ati, orangtua Sandi Faizal (8 tahun), korban gempa September 2009, ingin dibantu untuk operasi karena putranya lahir tanpa anus. Ketua Yayasan Sayap Ibu, Bintaro, Jakarta Selatan, Ny Trusti, menyatakan kesanggupannya untuk membantu operasi Sandi. (Ton Pujiyono)

Selasa, 04 Januari 2011

Penting Peran Masyarakat Atasi Masalah Narkoba

LAPORAN : ARIES M. SAUGI
JAKARTA - SURABAYAWEBS.COM

Masalah penggunakan Narkoba dan zat berbahaya lainnya sudah sangat memprihatinkan sekarang ini, karena lebih dari 3,2 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna Napza (Narkotika Psikotropik dan Zat Adektif). Mengingat masalah Napza ini sangat serius karena dapat mengancam generasi bangsa, maka diperlukan peran serta masyarakat dalam mengatasi masalah ini.

Hal itu terungkap dalam acara diskusi sekaligus temu pers bersama Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Depsos Makmur Sunusi bersama pengamat sosial Baby Jim Aditya serta praktisi Albari Husen di Jakarta, Kamis (19/6) dalam rangka Hari Anti Narkoba Internasional (HANI). Dalam kesempatan itu, Makmur Sunusi yang mewakili Mensos Bachtiar Chamsyah menjelaskan bahwa persoalan pengguna Napza di tanah air sangat pelik, karena satu dengan lainnya belum sejalan dalam mengatasi masalah tersebut.

Ia mengatakan penanganannya masih parsial sehingga masing-masing instansi yang memiliki program anti Napza bergerak sendiri-sendiri karena mengangkut sebuah proyek.  Untuk itu, ia mengatakan bagi Depsos tidak ada kata menyerah dalam menanggulangi masalah Napza ini dan tetap berkomitmen menyelamatkan generasi bangsa dengan berbagai program yang telah dijalankan selama ini.

Salah satu pilot project yang sedang dijalankannya adalah program penguatan institusi lokal penanggulangan korban Napza berbasis masyarakat. Menurutnya, langkah ini sangat tepat mengingat dana yang disediakan pemerintah untuk program anti Napza di Depsos memang sangat terbatas sehingga perlu menggunakan dana secara efektif dan efisien.

Dijelakannya, model pelaksanaan penguatan institusi lokal berbasis masyarakat itu sangat sederhana dijalankan dan dipastikan sangat tepat untuk kondisi sekarang ini. Disana, menurutnya peran Pemda dan Masyarakat serta stimulus dari pusat merupakan tiga komponen penting dalam memajukan institusi lokal berbasis masyarakat.

Ia mengatakan salah satu provinsi yang telah menjalakan uji coba tersebut adalah Jawa Barat dan sudah berjalan selama dua tahun yaitu 2006 dan 2007. “Program ini sangat efektif karena selain memberikan rehabilitasi korban Napza juga memajukan peran serta masyarakat dan Pemda setempat akan pentingnya mengatasi masalah ini,” katanya menjelaskan.

Program ini akan terus ditingkatkan menjadi tiga provinsi pada tahun 2008 ini yaitu di Provinsi Kalimantan Selatan dan DIY. Bahkan ia memastikan pada tahun 2015 seluruh desa dan kelurahan di seluruh Indonesia telah memiliki tim pencegahan Napza berbasis masyarakat.

Namun ia mengatakan sangat salut dengan adanya peran serta masyarakat yang sangat baik terhadap masalah Napza ini. Dimana ada sekitar 78 lembaga rehabilitasi Napza yang dikelola masyarakat luas di seluruh Indonesia bahkan sudah merehabilitasi sekitar 22.466 pengguna Napza.

Bersamaan dengan adanya peran yang cukup baik dari masyarakat, maka pemerintah juga terus meningkatkan programnya dalam mengatasi masalah Napza. Salah satunya dengan memberikan bantuan modal usaha bagi Kelompok Usaha Bersama (Kube) bagi mantan pecandu Napza sehingga hidupnya dapat normal kembali dengan berbekal modal usaha yang dikelola secara bersama-sama.***

Sabtu, 01 Januari 2011

Album Pribadi








 
Support by Indonesia Webmaster